Marlan Rohmansah Nijuichi Sangetsu: janda dan anaknya yang mati

Minggu, 27 November 2011

janda dan anaknya yang mati

Suatu ketika
ada seorang
janda yang
sangat berduka
karena anak
satu-satunya
mati.Sembari
membawa
jenasah
anaknya, wanita ini menghadap Sang Guru untuk
meminta mantra atau ramuan sakti yang bisa
menghidupkan kembali anaknya.
Sang Guru mengamati bahwa wanita di
hadapannya ini tengah tenggelam dalam
kesedihan yang sangat mendalam, bahkan
sesekali ia meratap histeris. Alih-alih memberinya
kata-kata penghiburan atau penjelasan yang
dirasa masuk akal, Sang Guru berujar:
“Aku akan menghidupkan kembali anakmu, tapi
aku membutuhkan sebutir biji lada.”
“Itu saja syaratnya?” tanya wanita itu dengan
keheranan.
“Oh, ya, biji lada itu harus berasal dari rumah
yang anggota penghuninya belum pernah ada
yang mati.”
Dengan “semangat 45″, wanita itu langsung
beranjak dari tempat itu, hatinya sangat entusias,
“Guru ini memang sakti dan baik sekali, dia akan
menghidupkan anakku!”
Dia mendatangi sebuah rumah, mengetuk
pintunya, dan bertanya: “Tolonglah saya. Saya
sangat membutuhkan satu butir biji lada. Maukah
Anda memberikannya?” “Oh, boleh saja,” jawab
tuan rumah. “Anda baik sekali Tuan, tapi maaf,
apakah anggota rumah ini belum pernah ada
yang mati?” “Oh, ada, paman kami meninggal
tahun lalu.” Wanita itu segera berpamitan karena
dia tahu bahwa ini bukan rumah yang tepat untuk
meminta biji lada yang dibutuhkannya.
Ia mengetuk rumah-rumah berikutnya, semua
penghuni rumah dengan senang hati bersedia
memberikan biji lada untuknya, tetapi ternyata tak
satu pun rumah yang terhindar dari peristiwa
kematian sanak saudaranya. “Ayah kami barusan
wafat…,” “Kakek kami sudah meninggal…,” “Ipar
kami tewas dalam kecelakaan minggu lalu…,” dan
sebagainya.
Ke mana pun dia pergi, dari gubuk sampai istana,
tak satu tempat pun yang memenuhi syarat tidak
pernah kehilangan anggotanya. Dia malah terlibat
dalam mendengarkan cerita duka orang lain.
Berangsur-angsur dia menyadari bahwa dia tidak
sendirian dalam penderitaan ini; tak seorang pun
yang terlepas dari penderitaan.
Pada penghujung hari, wanita ini kembali
menghadap Sang Guru dalam keadaan batin
yang sangat berbeda dengan sebelumnya. Dia
mengucap lirih, “Guru, saya akan menguburkan
anak saya.” Sang Guru hanya mengangguk
seraya tersenyum lembut.
Mungkin saja Sang Guru bisa mengerahkan
kesaktian dan menghidupkan kembali anak yang
telah mati itu, tetapi kalau pun bisa demikian, apa
hikmahnya?
Bukankah anak tersebut suatu hari akan mati lagi
juga? Alih-alih berbuat demikian Sang Guru
membuat wanita yang tengah berduka itu
mengalami pembelajaran langsung dan
menyadari suatu kenyataan hidup yang tak
terelakkan bagi siapa pun: siapa yang tak mati?
Penghiburan sementara belaka bukanlah solusi
sejati terhadap peristiwa dukacita mendalam
seperti dalam cerita di atas.
Penderitaan hanya benar-benar bisa diatasi
dengan pengertian yang benar akan dua hal:
(1)kenyataan hidup sebagaimana adanya, bukan
sebagaimana maunya kita, dan
(2)bahwasanya pada dasarnya penderitaan dan
kebahagiaan adalah sesuatu yang
bersumber dari dalam diri kita sendiri.
Sumber: Unknown (Tidak Diketahui)

0 komentar:

:10 :11 :12 :13 :14 :15 :16 :17
:18 :19 :20 :21 :22 :23 :24 :25
:26 :27 :28 :29 :30 :31 :32 :33
:34 :35 :36 :37 :38 :39

Posting Komentar

Ayo kasih komentar .. Gratis gak bayar koq.. hahaha